Kenapa Sesama Muslim Saling Membunuh?
Dalam Perang Shiffin, Abdullah terpaksa mengikuti kemauan ayahnya, namun ia berjanji tidak akan membunuh sesama muslim. Niatnya cuma satu: ingin mati syahid.
Suatu ketika Nabi Muhammad bertanya kepada sahabat Abdullah bin Amr bin Ash, “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan tidak pernah berbuka?”
“Benar,” jawabnya.
“Cukuplah berpuasa tiga hari dalam sebulan,” kata Nabi.
Sebagai orang muda yang penuh vitalitas, Abdullah menanggapinya itu dengan nada bangga. “Aku sanggup melakukan lebih banyak dari itu,” katanya.
Nabi memahami sikap orang muda ini, namun beliau memberikan saran yang lebih ringan lagi. “Kalau begitu, kamu cukup berpuasa dua hari dalam seminggu.”
Namun lagi-lagi Abdullah berkata, “Aku sanggup lebih banyak lagi.”
“Jika demikian, lakukanlah puasa yang lebih utama, yaitu puasa Nabi Daud: Puasa sehari, lalu berbuka sehari.”
Setelah berdiam sejenak, Nabi melanjutkan dengan pertanyaan, “Benarkah kamu membaca Al-Quran sepanjang malam sampai tidak tidur?”
“Benar,” jawab Abdullah.
“Perbuatanmu itu baik sekali. Tetapi aku khawatir kamu akan jenuh membaca Al-Quran, terutama bila kamu telah tua nanti.”
Selanjutnya Nabi menyarankan, “Sebaiknya kamu membaca Al-Quran sampai khatam selama satu bulan. Kalau kamu bisa lebih cepat, khatam dalam sepuluh hari. Dan kalau bisa lebih cepat lagi, khatam dalam tiga hari.”
Abdullah diam terpekur. Ia berusaha memahami saran-saran tersebut.
Kemudian Nabi mencontohkan dirinya sendiri.” Aku puasa dan berbuka. Aku shalat dan tidur. Aku menikahi perempuan. Ketahuilah, tubuhmu juga punya hak untuk istirahat. Maka siapa yang tidak suka sunnahku, tidak akan termasuk dalam golongan umatku.”
Abdullah diberi usia panjang oleh Allah. Ia masih segar bugar ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat, dan ia ikut terlibat dalam Perang Shiffin. Sebuah tragedi perang saudara antar-umat Islam yang melibatkan Khalifah Ali dengan pembangkang Muawiyah.
Perang ini memberi kenangan yang buruk bagi Abdullah. Ia menyesali keterlibatannya dalam perang tersebut.
Keterlibatan Abdullah dalam Perang Shiffin adalah karena ajakan ayahnya, Amr bin Ash. Amr, yang dekat dengan Muawiyah, memang berambisi ingin menduduki jabatan gubernur di Mesir. Sementara anaknya, Abdullah, dikenal seluruh kaum muslimin di Kufah sebagai orang yang sangat shalih beribadah. Maka, apabila diketahui kaum muslimin yang membela khalifah bahwa Abdullah berada di pihak Muawiyah, diharap dapat mengurangi kekuatan di kubu khalifah.
“Hai Abdullah, bersiaplah untuk maju perang,” kata Amr bin Ash kepada anaknya. “Kamu berada di pihak kami (Muawiyah).”
Tetapi rupanya Abdullah tidak terlalu antusias mengikuti ajakan ayahnya. “Bagaimana mungkin aku dapat berperang. Rasul telah mengamanahkan kepadaku untuk tidak menggunakan senjata terhadap kaum muslimin.”
“Perang ini bukan untuk membunuh sesama kaum muslimin,” kata ayahnya, berusaha meyakinkan anaknya. “Melainkan untuk menangkap dan membalas para pembunuh Khalifah Usman.”
Ketika Abdullah tetap tidak mau mengikuti ajakan itu, Amr menggunakan kesempatan itu untuk mengingatkan pertemuan mereka di hadapan Rasul beberapa tahun lalu.” Ingatkah kamu bahwa kamu akan menaati perintah bapakmu?”
Abdullah terpaksa mengikuti kemauan ayahnya, namun ia berjanji tidak akan membunuh sesama muslim. Niatnya cuma satu: ingin mati syahid. Maka ia berusaha untuk selalu berada di garis depan.
Tetapi Allah masih memeliharanya, ketika perang berakhir ia masih segar bugar. Ia terpaksa meninggalkan peperangan karena kecewa berat oleh sebuah peristiwa yang sangat menyinggung perasaannya.
Peristiwa itu adalah meninggalnya Ammar bin Yasir, seorang komandan pasukan Khalifah Ali yang umurnya sudah sangat tua, 90 tahun. Ia mati syahid sebagai sasaran tombak orang dari Bani Silsik yang berpihak kepada Muawiyah. Ketika badan Ammar terkulai, muncul seorang lagi yang menebaskan pedangnya ke leher Ammar hingga ia tewas seketika sebagai syuhada. Konon kedua orang itu terkenal sebagai orang kaya yang sangat dendam kepada Ammar karena Ammar selalu mengingatkan bahwa di dalam harta orang-orang kaya terdapat hak orang miskin yang harus dibayarkan.
Begitu mendengar kabar bahwa Ammar gugur, Abdullah mengingatkan orang-orang Muawiyah terhadap nubuat atau peringatan Nabi beberapa tahun sebelumnya bahwa orang yang membunuh Ammar termasuk golongan orang durhaka dan pasti masuk neraka.
Mendengar ucapan Abdullah itu Muawiyah kontan marah besar. “Mengapa kamu biarkan anakmu yang gila itu berbicara seperti itu,” kata Muawiyah kepada Amr bin Ash. Sedang kepada Abdullah ia ingin tahu, “Mengapa kamu turut berperang di pihak kami?”
“Kalau aku di sini bersamamu,” jawab Abdullah, “itu karena aku menuruti perintah Rasul agar aku taat kepada bapakku, tapi bukan untuk berperang.”
Kemudian, sambil menghadapkan muka kepada ayahnya, Abdullah berkata, “Seandainya Rasul tidak menyuruhku taat kepadamu, aku tak ‘kan ikut bersamamu.”
Ternyata kematian Ammar bin Yasir itu menjadi bahan pembicaraan di kalangan tentara Muawiyah yang apabila dibiarkan akan membahayakan Muawiyah sendiri. Oleh karena itu bersama Amr bin Ash ditiupkan cerita yang diputarbalikkan.
“Benar bahwa kematian Ammar karena perbuatan orang durhaka. Tetapi siapakah orang yang durhaka itu? Ia adalah orang yang mengajak Ammar untuk berperang,” kata Muawiyah kepada pasukannya. Maksud kata-kata itu adalah Khalifah Ali sendiri. Dalam suasana kacau balau, logika semacam itu dapat dengan mudah diterima akal, sehingga tidak timbul pertanyaan macam-macam dan pertempuran dapat berjalan lagi.
Namun, logika ayahnya dan Muawiyah itu tidak dapat diterima Abdullah. Ia kemudian memilih mundur dari peperangan dan kembali ke masjid. Ia menyesali nasibnya yang malang sehingga dapat terlibat dalam Perang Shiffin. “Apa yang telah aku perbuat dalam perang itu?” pikirnya dalam hati. “Kenapa sesama orang Islam saling membunuh?”
Dia kemudian banyak merenung dan mawas diri sambil melaksanakan ibadah-ibadah seperti sebelumnya.
Abdullah meninggal dunia dalam usia 72 tahun di sebuah mushalla ketika sedang bermunajat. Senyum yang tersunggig di bibirnya menunjukkan bahwa jiwanya tenang ketika menghadapi sakaratul maut.
Posting Komentar